Pentingnya Supervisi dan Sertifikasi Terhadap Kinerja Guru
Pentingnya Supervisi dan Sertifikasi Terhadap Kinerja Guru
Choirul Annas, S.Pd
Peningkatan mutu khususnya dalam dunia pendidikan di Indonesia
dewasa ini merupakan suatu keharusan. Terlebih dengan perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) saat ini, menuntut sekolah untuk dapat
menyesuaikan dengan arus perubahan. Perubahan tersebut juga menuntut para
pelaku di dunia pendidikan meningkatkan kualitasnya untuk bisa mewujudkan
pendidikan yang berkualitas. Pendidikan merupakan faktor penting yang
menentukan kemajuan suatu bangsa. Melalui pendidikan, akan tumbuh dan
berkembang generasi penerus yang berpengetahuan dan terampil serta mampu
bersaing dengan bangsa lain di dunia.
Tujuan pendidikan nasional bangsa Indonesia, sebagaimana yang
tercantum dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, dinyatakan bahwa:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Pendidikan sebagai salah satu amanat UUD 1945 diatur lebih lanjut
dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
dalam visinya untuk mewujudkan sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang
kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang
menjadi manusia yang berkualitas danpada akhirnya mampu dan proaktif menjawab
tantangan zaman yang selalu berubah yang berdasarkan kepada Pancasila.
Dalam paradigma baru manajemen pendidikan, kepala sekolah memiliki beberapa fungsi manajerial yaitu sebagai edukator, manajer, administrator, supervisor, leader, innovator, motivator (EMASLIM). Berkaitan dengan tugas kepala sekolah sebagai supervisor pendidikan, kepala sekolah dituntut untuk memiliki kemampuan mengelola program peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Oleh karena itu, kepala sekolah hendaknya dapat melaksanakan supervisi secara efektif sebagaimana yang diamanahkan dalam Permendiknas No. 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/ Kepala Madrasah bahwa kepala sekolah memiliki tugas merencanakan program supervisi akademik dalam rangka profesionalitas guru, melaksanakan supervisi akademik terhadap guru dengan menggunakan pendekatan dan teknik supervisi yang tepat serta menindaklanjuti hasil supervisi akademik terhadap guru dalam rangka peningkatan profesionalisme guru.
Supervisi pendidikan dapat dimaknai sebagai kegiatan pemantauan
oleh pengawas dan kepala sekolah atau kepala madrasah terhadap implementasi
kurikulum termasuk penilaian pembelajaran di kelas, pelurusan penyimpangan
perilaku peserta didik, peningkatan keadaan, perbaikan program, dan
pengembangan kemampuan profesional guru.
Supervisi pendidikan merupakan salah satu hal yang harus dilakukan
secara serius dalam rangka usaha perbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan.
Supervisi yang dilaksanakan kepala sekolah saat ini dirasakan masih belum
maksimal, karena kepala sekolah mengalami kesulitan-kesulitan dalam
pelaksanaannya. Menurut Sergiovani dan Starrat (1993), sebagian besar waktu
supervisor dipergunakan untuk persoalan administratif di sekolah. Selain itu,
hasil penelitian yang dilakukan oleh Imron (1995) menyimpulkan, bahwa
pelaksanaan supervisi oleh kepala SDN di Mojokerto menggunakan teknik: 1) kunjungan;
2) pertemuan pribadi; 3) musyawarah dewan guru; 4) kunjungan antar sekolah; 5)
kunjungan antar kelas; 6) pertemuan dalam rapat guru; dan 7) penerbitan
buletin, yang keseluruhannya rata-rata sulit. Belum maksimalnya layanan
supervisi yang diberikan kepala sekolah atau madrasah
mengakibatkan banyak permasalahan yang ditemukan berkaitan dengan kualitas dan
profesionalisme guru di Indonesia. Menurut Mulyasa, beberapa kesalahan yang
sering dilakukan oleh guru dalam praktek pembelajaran yaitu, 1) mengambil jalan
pintas dalam pembelajaran; 2) menunggu peserta didik berperilaku negatif; 3)
menggunakan destructive discipline; 4) mengabaikan perbedaan peserta didik; 5)
merasa paling pandai dan paling tahu; 6) tidak adil (diskriminatif); dan 7)
memaksa hak peserta didik.
Tujuan supervisi adalah untuk melakukan pembenahan di beberapa
lini, antara lain siswa, kinerja guru, keefektifan kurikulum, sarana prasarana
pembelajaran, kualitas pengelolaan sekolah, memberikan bantuan teknis dan
bimbingan kepada guru sebagai tenaga pendidik agar mampu meningkatkan kualitas
kinerjanya, terutama dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran di sekolah. Dalam
batas-batas tertentu, supervisi memang sangat diperlukan namun demikian perlu
mempertimbangan tingkat intensitas pelaksanaannya agar tidak menganggu proses
atau tahap-tahap pembelajaran.
Sering dijumpai adanya seorang kepala sekolah dalam melaksanakan
supervisi akademik hanya datang ke sekolah dengan membawa instrumen pengukuran
unjuk kerja. Kemudian masuk ke kelas melakukan pengukuran terhadap unjuk kerja
guru yang sedang mengajar. Setelah itu, selesailah tugasnya, seakan-akan
supervise akademik sama dengan pengukuran guru dalam pelaksanaan pembelajaran.
Perilaku supervisi akademik sebagaimana digambarkan di atas merupakan salah
satu contoh perilaku supervisi akademik yang salah.
Perilaku supervisi akademik yang demikian tidak akan memberikan
banyak pengaruh terhadap peningkatan kualitas unjuk kerja guru dalam mengelola
proses pembelajaran. Seandainya memberikan pengaruh, pengaruhnya sangat kecil
artinya bagi peningkatan kualitas unjuk kerja guru dalam mengelola proses
pembelajaran. Supervisi akademik sama sekali bukan penilaian unjuk kerja guru.
Apalagi bila tujuan utama penilaiannya semata-mata hanya dalam arti sempit,
yaitu mengkalkulasi kualitas keberadaan guru dalam memenuhi kepentingan
akreditasi guru belaka.
Supervisi akademik merupakan upaya membantu guru-guru mengembangkan
kemampuannya mencapai tujuan pembelajaran. Dengan demikian, berarti, esensi
supervisi akademik itu sama sekali bukan menilai unjuk kerja guru dalam
mengelola proses pembelajaran, melainkan membantu guru mengembangkan kemampuan
profesionalismenya.
Meskipun demikian, supervisi akademik tidak bisa terlepas dari
penilaian unjuk kerja guru dalam mengelola pembelajaran. Apabila di atas
dikatakan, bahwa supervisi akademik merupakanserangkaian kegiatan membantu guru
mengembangkan kemampuannya mengelola proses pembelajaran, maka menilai unjuk
kerja guru dalam mengelola proses pembelajaran merupakan salah satu kegiatan
yang tidak bisa dihindarkan prosesnya.
Penilaian unjuk kerja guru dalam mengelola proses pembelajaran
sebagai suatu proses pemberian estimasi kualitas unjuk kerja guru dalam
mengelola proses pembelajaran, merupakan bagian integral dari serangkaian
kegiatan supervisi akademik. Apabila dikatakan bahwa supervise akademik
merupakan serangkaian kegiatan membantu guru mengembangkan kemampuannya, maka
dalam pelaksanaannya terlebih dahulu perlu diadakan penilaian kemampuan guru,
sehingga bisa ditetapkan aspek yang perlu dikembangkan dan cara
mengembangkannya.
Konsep dan tujuan supervisi akademik, sebagaimana dikemukakan oleh
para pakar supervisi akademik di muka, memang tampak idealis bagi para praktisi
supervisi akademik (kepala sekolah). Namun, memang demikianlah seharusnya
kenyataan normatif konsep dasarnya. Para kepala sekolah baik suka maupun tidak
suka harus siap menghadapi problema dan kendala dalam melaksanakan supervisi
akademik. Adanya problema dan kendala tersebut sedikit banyak bisa diatasi
apabila dalam pelaksanaan supervisi akademik kepala sekolah menerapkan prinsip-prinsip
supervisi akademik.
Akhir-akhir ini, beberapa literatur telah banyak mengungkapkan
teori supervisi akademik sebagai landasan bagi setiap perilaku supervisi
akademik. Beberapa istilah, seperti demokrasi (democratic), kerja kelompok
(team effort), dan proses kelompok (group process) telah banyak dibahas dan
dihubungkan dengan konsep supervise akademik. Pembahasannya semata-mata untuk
menunjukkan kepada kita bahwa perilaku supervisi akademik itu harus menjauhkan
diri dari sifat otoriter, di mana supervisor sebagai atasan dan guru sebagai
bawahan. Begitu pula dalam latar sistem persekolahan, keseluruhan anggota
(guru) harus aktif berpartisipasi, bahkan sebaiknya sebagai prakarsa, dalam
proses supervisi akademik, sedangkan supervisor merupakan bagian darinya.
Pada dasarnya guru memiliki potensi yang tinggi untuk berkreasi dan
meningkatkan kinerja, namun banyak faktor yang menghambat mereka dalam
mengembangkan berbagai potensinya secara optimal. Rendahnya kualitas guru
tersebut membutuhkan peran kepala sekolah sebagai supervisor untuk terus
memantau dan mensupervisi serta memberikan arahan dan bimbingan kepada guru
guna mencapai pembelajaran yang berkualitas. Guru yang profesional sangat
dibutuhkan di setiap sekolah, karena berperan dalam menyiapkan peserta didik
agar dapat mencapai perkembangan secara optimal. Seorang peserta didik
dikatakan telah mencapai perkembangannya secara optimal apabila peserta didik
memperoleh hasil belajar yang sesuai dengan bakat, kemampuan dan minat yang
dimiliki.
Berbagai cara yang bisa dilakukan oleh para guru agar dapat
meningkatkan profesionalismenya salah satunya dengan menempuh program
sertifikasi guru. Salah satu cara untuk meningkatkan kompetensi profesional
adalah dengan cara sertifikasi. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat
pendidik untuk guru dan dosen. Tujuan sertifikasi adalah untuk menentukan
kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran, meningkatkan
profesionalisme guru, meningkatkan proses dan hasil pendidikan, dan mempercepat
terwujudnya tujuan pendidikan nasional. Program sertifikasi bagi guru ditempuh
melalui dua jalur yaitu penilaian portofolio dan jalur pendidikan. Seleksi guru
yang berhak maju sertifikasi ini berdasarkan usia dan masa kerja. Guru yang
usianya sudah tua dan masa kerjanya lebih lama akan didahulukan. Peserta juga
harus memenuhi syarat pendidikan S1 atau D4 dengan kredit 850 atau S2 dengan golongan
4A dan S3 dengan golongan 4B.
Sertifikasi guru tidak hanya bertujuan untuk mendapat sertifikat
pendidik saja namun dengan adanya sertifikasi diharapkan kinerja guru akan
menjadi lebih baik dan tujuan Pendidikan Nasional akan tercapai dengan baik. Guru
yang telah disertifikasi diharapkan bisa menjadi guru yang profesional, bisa
mengajar dengan baik, bisa mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, dan
dapat menjunjung tinggi profesi guru sehingga profesi guru akan lebih dihargai
dan tidak akan diremehkan lagi.
Indonesia pada tahun 2005 telah memiliki Undang-Undang Guru dan
Dosen, yang merupakan kebijakan untuk intervensi langsung meningkatkan mutu
kompetensi guru lewat kebijakan keharusan guru memiliki kualifikasi Strata 1
atau D4, dan memiliki sertifikat profesi. Dengan sertifikat profesi ini pula
guru berhak mendapatkan tunjangan profesi. Di samping UUGD juga menetapkan
berbagai tunjangan yang berhak diterima guru sebagai upaya peningkatan
kesejahteraan finansial guru. Kebijakan dalam UUGD ini pada intinya adalah
meningkatkan mutu kompetensi guru seiring dengan peningkatkan kesejahteraan
mereka.
Sudah barang tentu, setelah cukup lama melakukan sosialisasi UUGD
ini, patut mulai dipertanyakan apakah sertifikasi akan secara otomatis
meningkatkan mutu kompetensi guru, dan kemudian akan meningkatkan mutu
pendidikan? Adakah jaminan bahwa dengan memiliki sertifikasi, guru akan lebih
bermutu? Pertanyaan
ini penting untuk dijawab secara kritis analitis. Karena bukti-bukti hasil
sertifikasi dalam kaitan dengan peningkatan mutu guru bervariasi. Di Amerika
Serikat kebijakan sertifikasi bagi guru belum berhasil meningkatkan mutu
kompetensi guru, hal antara lain dikarenakan kuatnya resistensi dari kalangan
guru sehingga pelaksanaan sertifikasi berjalan amat lambat. Sebagai contoh
dalam kurun waktu sepuluh tahun, mulai tahun 1997-2006,
Amerika Serikat hanya mentargetkan 100.000 guru untuk disertifikasi. Bandingkan
dengan Indonesia yang dalam kurun waktu yang sama mentargetkan mensertifikasi
2,7 juta guru. Sebaliknya kebijakan yang sama telah berhasil meningkatkan mutu
kompetensi guru di Singapore dan Korea Selatan.
Adakah jaminan bahwa sertifikasi guru akan meningkatkan mutu
pendidikan? Ada beberapa hal yang perlu untuk dikaji secara mendalam untuk
memberikan jaminan bahwa sertifikasi guru akan meningkatkan mutu pendidikan.
Pertama dan sekaligus yang utama, sertifikasi merupakan sarana atau instrumen
untuk mencapai suatu tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Perlu ada kesadaran dan
pemahaman dari semua fihak bahwa sertifikasi adalah sarana untuk menuju mutu.
Sertikasi bukan tujuan itu sendiri. Kesadaran dan pemahaman ini akan melahirkan
aktivitas yang benar, bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk mencapai mutu.
Kalau seorang guru kembali masuk kampus untuk kualifikasi, maka belajar kembali
ini untuk mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dan ketrampilan, sehingga
mendapatkan ijazah S-1. Ijazah S-1 bukan tujuan yang harus dicapai dengan
segala cara, termasuk cara yang tidak benar melainkan konsekuensi dari telah
belajar dan telah mendapatkan tambahan ilmu dan ketrampilan baru. Demikian pula
kalau guru mengikuti uji sertifikasi, tujuan utama bukan untuk mendapatkan
tunjangan profesi, melainkan untuk dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan
telah memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam standard kemampuan
guru. Tunjangan profesi adalah konsekuensi logis yang menyertai adanya
kemampuan yang dimaksud. Dengan menyadari hal ini maka guru tidak akan mencari
jalan lain guna memperoleh sertifikat profesi kecuali mempersiapkan diri dengan
belajar yang benar untuk menghadapi uji sertifikasi.
Kedua, konsistensi dan ketegaran pemerintah. Sebagai suatu
kebijakan yang bersentuhan dengan berbagai kelompok masyarakat akan mendapatkan
berbagai tantangan dan tuntutan. Paling tidak tuntutan dan tantangan akan
muncul dari 3 sumber. Sumber pertama adalah dalam penentuan lembaga yang berhak
melaksanakan uji sertifikasi. Berbagai lembaga penyelenggara pendidikan tinggi,
khususnya dari fihak Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Swasta akan
menuntut untuk diberi hak menyelenggarakan dan melaksanakan uji sertifikasi.
Demikian juga, akan muncul tuntutan dari berbagai LPTK negeri khususnya di
daerah luar jawa akan menuntut dengan alasan demi keseimbangan geografis.
Tuntutan ini akan mempengaruhi penentuan yang mendasarkan pada objektivitas
kemampuan suatu perguruan tinggi. Ketegaran dan konsistensi pemerintah juga
diperlukan untuk menghadapi tuntutan dan sekaligus tantangan bagi pelaksana
Undang-Undang yang muncul dari kalangan guru sendiri. Mereka yang sudah senior
atau mereka para guru yang masih jauh dari pensyaratan akan menentang dan
menuntut berbagai kemudahan agar bisa memperoleh sertifikat profesi tersebut.
Ketiga, tegas dan tegakkan hukum. Dalam pelaksanaan sertifikasi,
akan muncul berbagai penyimpangan dari aturan main yang sudah ada. Adanya
penyimpangan ini tidak lepas dari adanya upaya berbagai fihak, khususnya guru
untuk mendapatkan sertifikat profesi dengan jalan pintas. Penyimpangan yang
muncul dan harus diwaspadai adalah pelaksanaan sertifikasi yang tidak benar.
Oleh karenanya, begitu ada gejala penyimpangan, pemerintah harus segera
mengambil tindakan tegas. Seperti mencabut hak melaksanakan sertifikasi dari
lembaga yang dimaksud, atau menetapkan seseorang tidak boleh menjadi penguji
sertifikasi, dan lain sebagainya.
Keempat, laksanakan UU secara konsekuen. Tuntutan dan tantangan
juga akan muncul dari berbagai daerah yang secara geografis memiliki tingkat
pendidikan yang relatif tertinggal. Kalau UUGD dilaksanakan maka sebagian besar
dari pendidik di daerah ini tidak akan lolos sertifikasi. Pemerintah harus
konsekuen bahwa sertifikasi merupakan standard nasional yang harus dipatuhi.
Toleransi bisa diberikan dalam pengertian waktu transisi. Misalnya, untuk Jawa
Tengah transisi 5 tahun, tetapi untuk daerah yang terpencil transisi 10 tahun.
Tetapi standard tidak mengenal toleransi.
Kelima pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyediakan anggaran
yang memadai, baik untuk pelaksanaan sertifikasi maupun untuk pemberian
tunjangan profesi.
Profesi guru diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi. Salah satu program yang dapat diselenggarakan dalam rangka pemberdayaan guru adalah supervisi akademik. Supervisi akademik merupakan upaya membantu guru-guru mengembangkan kemampuannya mencapai tujuan pembelajaran. Dengan demikian, berarti, esensi supervisi akademik itu sama sekali bukan menilai unjuk kerja guru dalam mengelola proses pembelajaran, melainkan membantu guru mengembangkan kemampuan profesionalismenya. Guru akan bekerja secara professional apabila ia memiliki kompetensi yang memadai. Maksudnya adalah seorang guru akan bekerja secara profesional apabila ia memiliki kompetensi secara utuh. Seseorang tidak akan bisa bekerja secara profesional apabila ia hanya memenuhi salah satu kompetensi di antara sekian kompetensi yang dipersyaratkan.
DAFTAR PUSTAKA
Andi Najemiah. 2019. Pengaruh Supervisi dan Sertifikasi Terhadap
Kinerja Guru (Studi Kasus Pada Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Palu). Vol V:
6. Tadulako: E Jurnal.
Dendik Surya Wardana. 2013. Motivasi Berprestasi dengan Kinerja
Guru yang Sudah Disertifikasi. Vol I: 1. Malang: Universitas Muhammadiyah
Malang.
Eko Putro Widoyoko. 2008. Peranan Sertifikasi Guru Dalam
Meningkatkan Mutu Pendidikan. Purworejo: Universitas Muhammadiyah Purworejo.
Nurhayati B. 2006. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Profesionalisme
dan Kinerja Guru Biologi di SMAN Kota Makasar Sulawesi Selatan. Vol XXV: 4.
Makasar: Universitas Negri Makasar.
Saiful Bahri. 2014. Supervisi Akademik dalam Peningkatan
Profesionalisme Guru. Volume V: 1. Banda Aceh: STKIP Bina Bangsa.
Sri Lestari. 2010. Pengaruh Sertifikasi Guru Terhadap Kinerja Guru
MTsN Mlinjon Filial Trucuk Klaten. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Posting Komentar untuk "Pentingnya Supervisi dan Sertifikasi Terhadap Kinerja Guru"